Mencari Damai

 

Lintang Azzahra 9J

MicrosoftTeams-image (64).png
 

“Baik anak anak, sebelum mengakhiri pelajaran hari ini Ibu akan memberi kalian tugas.” Kata Bu Dita sambil menutup buku bahasa Indonesianya. 

“Carilah definisi kedamaian menurut kalian sendiri, minggu depan silakan kalian presentasikan ya!” 

Seluruh anak di kelasku tampak memasang wajah malas. “Tugas lagi, tugas lagi.” Pikirku. 

“Jangan malas gitu dong! Berbeda dengan tugas lain, kali ini ada hadiahnya!” Bu Dita merogoh tas selempangnya. “Taraaa!!! Untuk lima orang dengan jawaban terpilih akan Ibu beri gantungan kunci lucu!” 

    Sekarang, seisi kelas malah berubah jadi ramai. Mereka semua antusias dengan hadiahnya. Bagaimana tidak, gantungan kunci yang ditunjukkan Bu Dita sangat menarik. Bergambar chibi superhero terkenal. Aku juga sangat ingin hadiah itu, terutama yang bergambar Gundala, sang Putra Petir. Superhero dari Indonesia favoritku. 

“Sip, aku harus dapat gantungan kunci Gundala!” Gumamku sepulang sekolah. 

“Alvaro!” Panggil Rafi dari belakang. “Ayo pergi ke warnet! Kita main game battle royale terbaru!” 

“Maaf, Fi, ngga dulu. Aku mau mengerjakan tugas Bu Dita.” Tolakku 

“Oh, ya sudahlah. Kalau sudah dapat jawaban, kita ke warnet lagi ya!” Kata Rafi lalu berjalan meninggalkanku. 

     Saat ini, aku akan bertanya kepada orang lain, definisi kedamaian menurut mereka. Mungkin, beberapa orang berpikir mencarinya di Internet akan jauh lebih mudah dibanding berkeliling. Tapi, aku lebih memilih untuk bertanya pada orang lain. Karena dengan itu kita bisa mendapatkan jawaban yang berbeda beda. 

“Permisi Bu, aku boleh tanya? Apa definisi damai menurut Ibu?” Tanyaku pada tetangga terdekatku, Bu Eti 

“Apa ya? Menurut Ibu mungkin tidak ada perang?” Jawabnya ragu ragu. 

“Oke, makasih Bu!” 

    Aku pun lanjut berkeliling dari rumah ke rumah. Tentu saja tak semua rumah, karena beberapa rumah tak berpenghuni, hehe. Setelah mendatangi beberapa blok rumah, akhirnya aku pulang. 

    Di rumah, aku membaca catatan hasil wawancara tadi. Ternyata hasilnya hampir sama; tidak ada perang dan konflik, hidup merdeka, hidup tenang, dan sebagainya. Tetapi,  jawaban- jawaban itu belum cocok untukku. Aku merasa masih ada yang kurang. 

“Ayah, Bunda, aku ada tugas nih! Bantu ya!” Kataku pada ayah dan bunda yang baru pulang kerja. 

“Nanti ya Alvaro, kami mau mandi dan bersih-bersih dulu. Nanti kamu bisa tanyakan saat makan malam, ya.” Kata Ayah. 

“Yaaah, oke deh!” 

    Satu jam kemudian, kutunggu mereka berdua di meja makan. Tapi hanya kakakku yang datang. Ayah dan bunda tidak tampak. 

“Kak, ayah bunda mana?” 

“Setelah mandi mereka langsung tidur. Mungkin kecapaian.” Jawabnya. 

“Lah? Katanya mau makan bersama...” Kataku kecewa. 

“Memangnya kenapa sih?” 

“Aku mau tanya arti kedamaian menurut mereka. Tugas sekolah.” Aku menghela napas. “Yah, mau bagaimana lagi. Mereka memang sibuk.” 

“Sudah, jangan sedih. Lihat! Ayah beli ayam geprek nih!” Kakak memberi ku sekotak nasi dengan ayam dan sambal geprek. 

“Woah!” Seketika aku melupakan kesedihanku. 

    Malam itu aku makan ayam geprek berdua dengan kakak. Padahal aku ingin sekali makan malam bersama ayah dan bunda. Tapi apa daya, mereka sudah tidur. Mana mungkin aku membangunkannya. Yang penting, hari ini aku bisa makan dengan ayam geprek, aku sudah senang sekali. 

*** 

     Akhir pekan pun tiba. Aku belum juga mendapatkan jawabannya. Kemarin, aku sempat bertanya pada ayah dan bunda. Tetapi jawabannya juga sama seperti yang lain. Bisa hidup tanpa perpecahan. 

    Lalu, aku terpikir untuk mengunjungi rumah nenek dan kakek di desa. Berhubung desanya lumayan dekat, aku memutuskan pergi ke sana dengan sepeda. Tak apa jikalau harus mencari di tempat yang jauh. Karena aku harus mencari jawabannya, demi mendapatkan gantungan kunci itu.  

 
 

    Hampir saja tadi ayah melarangku pergi. Padahal aku sudah bilang tujuanku pergi ke desa. Untung saja bunda mengizinkan. Kalau tidak ada bunda, bisa jadi aku tak bisa pergi. Maklumlah, ayahku tipe orang yang over protektif. 

    Setelah bersiap siap dan berpamitan, aku mengayuh sepedaku menuju desa. Ngomong- ngomong, ini baru pertama kalinya aku bersepeda ke rumah nenek. Sebelumnya aku selalu pergi dengan mobil. Ternyata seru juga bersepeda jarak jauh begini. Melihat awan berjarak di langit, pohon pohon yang berjejer di pinggir jalan, ditambah hembusan angin semilir yang menenangkan. 

    Tak terasa, aku sudah sampai di desa tempat nenek kakek ku tinggal. Ternyata lebih cepat dari dugaanku, hanya tiga puluh menit. Mungkin karena aku sangat menikmati perjalanannya. 

“Assalamualaikum, Nek!” Seruku sambil mengetuk pintu. 

“Waalaikumussalam! Wah, Ada Alvaro! Ayo masuk, kebetulan Nenek baru buat kue klepon!” Sambut nenek. 

   Kami pun berbincang dan mengobrol ria. Benar benar mengasyikkan. Andai keluargaku yang lain ikut juga pasti obrolan ini akan lebih ramai. 

    Siang itu, setelah makan dan mengobrol nenek dan kakek mengajakku pergi ke sawahnya. Lalu kami bertiga duduk di gubuk kecil tempat para petani beristirahat.  

“Nah, kamu ke sini mau cari bahan tugas, kan? Silakan, kamu boleh tanya sekarang.” Kata kakek sambil menyandarkan punggungnya di tiang gubuk.  

“Menurut Nenek Kakek, kedamaian itu apa?” 

Mereka berdua terdiam sesaat. 

“Hah... yang kamu alami sekarang, juga bisa disebut kedamaian.” Jawab kakek sambil menghela nafas. 

“Kedamaian dari mananya? Ayah dan bunda selalu sibuk. Kadang aku juga lihat mereka berdebat. Lalu kakak, kadang dia sangat menyebalkan. Itu bukan kedamaian namanya.” Kataku yang tak setuju dengan kakek.  

“Meskipun begitu, pernahkah kamu merasa kelaparan? Atau ingin membeli sesuatu yang kamu butuhkan, tapi tak mampu?” Ujar Nenek. “Menurut kami, itu semua adalah kedamaian.” 

“Kalau masih belum menemukannya, coba saja bayangkan apa yang terjadi saat Indonesia belum merdeka. Hal yang kamu rasakan sekarang, belum tentu bisa dirasakan saat itu.” Sambung kakek. 

Aku pun memikirkan ucapan nenek dan kakek baik-baik. 

“Intinya, apa yang kami rasakan sekarang itu sudah termasuk kedamaian menurut kami. Menurutmu sendiri mungkin berbeda, kamu berhak menentukannya sendiri.” Ujar kakek disertai anggukan nenek. 

“Apapun jawabannya tak ada yang salah, Nek?” 

“Ya, tak ada yang salah. Karena definisi damai menurut orang lain itu berbeda-beda.” Kata nenek sambil tersenyum hangat. 

Entah kenapa setelah melihat senyuman nenek, sebuah jawaban terlintas di benakku. 

*** 

“Yak, anak-anak! Siapa yang mau maju?” Seru Bu Dita di hari presentasi. 

“Saya Bu!” Aku mengacungkan tanganku. 

“Ok, silakan Alvaro!”  

Aku berdiri dan jalan ke depan kelas. 

“Menurutku, kedamaian itu saat kita bisa hidup tenang. Melihat orang tersayang sehat dan dekat dengan kita, mengetahui kabar mereka, atau bisa juga hidup tanpa harus resah dan khawatir akan banyak hal. Itu saja Bu, terima kasih.” Aku mempresentasikannya dengan penuh percaya diri. 

“Wah, bagus sekali! Ayo beri tepuk tangan untuk Alvaro!” Seru Bu Dita sambil bertepuk tangan, diikuti seisi kelas.  

   Bel pulang berbunyi, aku melangkah ke gerbang sekolah sambil bersenandung riang. Bukan hanya sang Putra Petir yang kini menggantung di ranselku, tapi juga karena aku yang sangat senang karena bisa menemukan arti damai menurutku sendiri. 

“Alvaro! Tugasmu sudah selesai kan? Ayo kita ke warnet! Yang lain sudah menunggu!” Ajak Rafi sambil berlari menyusulku. 

“Oh, ok! Yuk jalan!” Seruku mengiyakan ajakannya. 

*** 


Previous
Previous

Hanya mimpi?

Next
Next

Percakapan Syakira dan Kaka