Hanya mimpi?

Oleh KIMZ16 sudah diedit  

“Hei, ayo bangun! Kau itu sudah tidak sadarkan diri selama lima belas hari. Ayo bangun agar ibuku tidak menyuruhku untuk menjagamu lagi! Aku saaangat kelelahan. Ayolah…” 

Di sebuah ruangan, seorang anak laki-laki terlihat berusaha membangunkan seorang perempuan di depannya. Setelah beberapa detik, salah satu jari perempuan di depannya itu bergerak-gerak. Anak laki-laki yang sejak tadi berusaha membangunkan si perempuan segera berlari keluar ruangan dan berteriak memanggil ibunya. 

“Ibu!! Jari perempuan itu bergerak!!! Dia akan segera bangun!!”  

Seorang wanita paruh baya terlihat berlari ke arah ruangan tempat si anak laki-laki bereriak. 

“Apa itu benar, Feniks? Apa dia benar-benar akan bangun?” Tanya wanita paruh baya itu kepada si anak laki-laki. 

“Iya, Bu. Tadi Fen melihat jari perempuan itu bergerak sedikit.” Jawab si anak laki-laki kepada ibunya. Anak laki-laki itu bernama Flint Feniks, biasa dipanggil oleh teman-temannya, Feniks. 

Tepat saat sang ibu ingin berbicara, perempuan yang berada di atas kasur itu membuka matanya perlahan. Ia mengedipkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang dilihatnya. Perempuan itu mencoba untuk duduk dan melihat dua orang, yang satu adalah seorang anak laki-laki, dan yang lainnya adalah seorang wanita paruh baya. Setelah si perempuan memerhatikan dua orang di depannya, ia pun berbicara pelan dengan suaranya yang serak. 

“A… ir…” 

‘Feniks, cepat ambilkan air minum di dapur!” 

Setelah mendengar perintah ibunya, Feniks segera berlari ke dapur dan kembali lagi dengan sebuah gelas berisi air. Tapi bentuknya cukup berbeda dari yang biasa perempuan itu lihat, karena gelas itu berbentuk persegi panjang dan… terbuat dari cermin?  

Tanpa memedulikan bentuk dan bahan dari gelasnya, perempuan itu langsung menghabiskan air di gelas itu dengan cepat. 

“Terima kasih.” 

“Tentu saja. Jika ada lagi yang kamu inginkan, bilang saja kepada Feniks.” 

Sang ibu berkata sambil menunjuk ke arah Feniks. 

Perempuan itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. 

“Oh ya, siapa namamu, Nak? Dan berapa umurmu?” 

Sang ibu bertanya kepada perempuan itu. Perempuan itu tampaknya sedang mempertimbangkan untuk memberitahukan namanya atau tidak. 

“Namaku Fazura Zava, biasa dipanggil Zava. Umurku lima belas tahun. 

“Kalau begitu, kamu bisa memanggilku Bibi Lynn, dan yang ada di sebelahku ini adalah anakku, Flint Feniks. Kamu bisa manggilnya Feniks, dan umurnya dua tahun lebih muda dari dirimu.” 

Zava menatap Bibi Lynn yang sudah selesai memperkenalkan dirinya dan Feniks, lalu bertanya kepada Bibi Lynn: 

“Kita tidak berada di kamarku. Kita ada di mana?” 

Feniks yang mendengar pertanyaan Zava mengerutkan keningnya. 

“Berada di kamarmu? Apa kamu tidak merasakan sakit saat terjatuh dari langit?” 

“Aku… aku terjatuh dari langit!? Tapi kenapa aku tidak merasa sakit saat aku terjatuh?” 

“Entahlah. Tapi seharusnya kami yang menanyakan itu.” 

Bibi Lynn membalas dengan wajah yang menunjukkan ekspresi khawatir. Zava juga berpikir tentang itu, mengapa dirinya tidak merasakan sakit di tubuhnya saat dia terjatuh dari langit.  

Mungkinkah sekarang Ia sudah mati?! 

Pikiran Zava berhenti pada perkiraan bahwa ia sudah mati. Saat Ia tidur di malam hari, ia tidak merasakan sakit apapun, dan sekarang dia tiba-tiba mati dengan alasan yang tidak dia ketahui?! 

“Apa… apa aku sudah mati? Aduh.” 

Zava mengaduh saat dia mencubit lengannya dan rasanya cukup sakit. Feniks tertawa terbahak-bahak saat melihat Zava yang kesakitan, lalu berkata dengan tawanya yang belum berhenti. 

“Hahaha… dia pikir dia sudah mati dan lihatlah, sekarang dia sendiri yang kesakitan. 

“Dasar anak tidak sopan! Zava itu lebih tua darimu. Harusnya kamu memanggilnya Kak Zava!” 

“Hehe… baiklah, Bu” 

Zava hanya diam memperhatikan dan sebuah ide terlintas di otaknya. 

“Bibi Lynn, apa Bibi bisa memberi tahuku di mana aku terjatuh? Mungkin ada sesuatu yang membuatku… terjatuh dari langit.” 

Zava bertanya sambil menatap Bibi Lynn. Sementara Bibi Lynn yang ditatap terus menerus oleh Zava menaikkan salah satu alisnya, kebingungan. 

“Apa kamu yakin? Kamu sudah tertidur selama lima belas hari dan sekarang ingin langsung bepergian? Apa tidak butuh istirahat sebentar dan melenturkan tubuhmu yang kaku?” 

“Aku tidak apa-apa. Aku tidak perlu istirahat lagi. Aku bisa menggerakkan tubuhku di perjalanan menuju tempatku terjatuh.” 

Ucap Zava dengan semangat. Dalam pikirannya, dia berpikir mungkin ada sebuah jalan rahasia yang bisa membuatnya kembali ke tempat asalnya.  

“… Baiklah, kita akan pergi sekarang. Bibi dan Feniks akan menunjukkan jalannya.” 

Lalu, kami semua berjalan menuju tempat Zava terjatuh dari langit. Kami berhenti di depan genangan air yang tidak dalam sama sekali. Memang tidak dalam, tapi jatuh dari tempat yang tinggi pasti sakit. 

“Apa aku benar-benar terjatuh di sini? Mengapa aku tidak merasakan seperti pegal atau sakit di tubuhku?” 

Selain Zava, Bibi Lynn dan Feniks juga kebingungan. 

“bagaimana kalau kamu sentuh air itu. Mungkin kamu akan kembali ke kamarmu.” 

Bercanda di depan Zava? Zava akan menganggapnya serius. 

“Baiklah. Mungkin kamu ada benarnya.” 

“Hei, tunggu dulu. Aku hanya bercanda. Hei!” 

Terlambat. Zava sudah menyentuh airnya terlebih dahulu sebelum Feniks sempat mengakhiri perkatannya. Zava pun menghilang setelah menyentuh genangan air itu. 

… 

Di sebuah kamar, seorang perempuan terlihat sedang mengedipkan matanya. Perempuan itu baru saja bangun dari tidurnya. Dia terlihat menyentuh seluruh tubuhnya seperti sedang memastikan sesuatu, lalu memerhatikan ke seluruh penjuru kamar. 

“Aku… ada di kamarku? Aneh sekali. Tadi aku ada sedang bersama Bibi Lynn dan Feniks… Tunggu!! Kenapa aku ada di kamarku?!” 

Perempuan yang ada di kamar itu adalah Zava, Fazura Zava.  

“Apa tadi itu mimpi? Mengapa terasa sangat nyata? Tapi… sepertinya itu memang mimpi. Buktinya adalah sekarang aku ada di kamarku. Tapi… ya sudah, nanti juga lupa. Kalau terus kupikirkan, pasti jadi sering berpikir yang aneh-aneh.” 

Zava berpikir itu semua hanya mimpi yang pasti akan dilupakan oleh orang pelupa seperti dia. Tapi, Zava melupakan sesuatu yang seharusnya bisa membuat dia berpikir dua kali tentang yang tadi dia sebut sebagai “mimpi”. 

Penulis: 

Kimz16 

Previous
Previous

Pengalamanku Vaksin di Sekolah

Next
Next

Mencari Damai