Tak Kalah dengan Tahun Lalu 

Lintang Azzahra 9J

   Sebentar lagi tanggal 17 Agustus. Hari yang sangat dinantikan Windy. Sebab, di hari itu akan ada banyak lomba Agustusan. Dari makan kerupuk, balap karung, tarik tambang, memasukkan paku ke botol, dan lain lain. Semakin membayangkannya, semakin tak sabar Windy menunggu hari itu. 

    Dengan senyum lebar, ia pergi ke teras dan menghampiri ayahnya yang asyik membaca novel yang dibelinya dua hari lalu. 

“Ayaah!!” Sapa Windy dengan senyumnya. 

“Oh, Windy? Kenapa?” Jawab ayahnya tanpa mengalihkan pandangan dari novelnya. 

“Yah, nanti ada lomba Agustusan kan di RT? Aku mau ikut! Tolong daftarin ya Yah!” Kata Windy antusias. 

“Hah? Lomba? Kemarin Ayah ikut rapat RT katanya tahun ini gak ada lomba.” 

Senyum lebar di wajah Windy hilang seketika. 

“Loh, kok gitu, Yah?” 

“Kamu lupa sekarang sedang pandemi? Di RT kita saja sudah ada 5 orang yang positif Covid-19.” Kata Ayah tenang. Kali ini pandangannya beralih dari novel ke Windy. 

“Yaaah, gak seru dong kalo gitu. Nanti hari Kemerdekaan jadi gak meriah...” Kata Windy lesu. 

“Kamu mau hari Kemerdekaan tetap meriah?” Tanya Ayah. 

Windy mengangguk., tapi wajahnya masih lesu. Tidak berubah. 

“Tunggu saja tanggal 17 Agustus. Akan Ayah tunjukkan hari itu bakal meriah. Tak kalah dengan tahun lalu.” Ayah tersenyum lembut. 

      Sudah lima hari berlalu sejak percakapan itu. Hari yang ditunggu – tunggu, hari ini, 17 Agustus. Nuansa hari Kemerdekaan sudah terasa di mana – mana. Baik di komplek rumahnya, di berita dan televisi, bahkan beranda media sosialnya bernuansa merah putih. Meskipun begitu Windy masih merasa biasa saja. Tidak ada yang spesial. 

“Mana Yah? Katanya mau buat meriah?” Windy mendatangi Ayahnya, menagih janji yang dikatakan tempo hari. 

“Sabar, sekarang kamu bantu Ayah dan Ibu memasak untuk sarapan dulu sini!” Ayah menyodorkan bawang merah yang belum dikupas. 

Dengan terpaksa, dia menuruti perkataan ayahnya. 

    Dan 10 menit kemudian, masakan ibu sudah jadi. Mereka sekeluarga siap sarapan.  

“Lihat deh, di channel ini sudah mulai upacara bendera!” Ujar ibu yang baru menyalakan televisi. 

“Nah, ayo! Kita ikut upacara juga!” Ajak Ayah. 

“Eh? Nanti aja deh, aku lapar...” 

“Katanya mau buat hari ini jadi meriah?” 

“Hah? Eh? I-iya deh...” Windy pun pasrah mengikuti upacara lewat televisi. Meski dalam keadaan lapar. 

    Setelah upacara selesai, mulailah mereka sarapan. Masakan ibu memang enak, sampai tak puas rasanya jika hanya makan seporsi. Tak sampai 15 menit, dua porsi nasi goreng sosis habis dia lahap. 

“Nah selesai makan, cuci piring dulu ya!” Ibu menaruh setumpuk piring kotor di wastafel dapur. 

“O-oke.” Lagi lagi Windy hanya pasrah. 

  Setelah 10 menit, dia pun selesai mencuci piring. Windy pergi keluar mencari ayahnya. Ternyata ayah sedang menyiapkan bendera. 

“Itu bendera buat apa, Yah?” Tanyanya 

“Kita pasang bendera di depan rumah. Biar nuansa Agustusannya makin terasa hehehe.” Kata ayah sambil tertawa kecil. “Coba lihat benderanya, keren kan? Ayah baru beli kemarin sepulang beli novel!” 

     Ia menyentuh bendera merah putih itu. Benar masih baru. Ukurannya juga lumayan besar. Mungkin hampir setengah papan tulis di kelasnya. 

“Uwoooh! Cakep Yah!” Matanya berbinar. 

“Hehe, gak cuma itu, Ayah juga sediakan bendera mini untuk dipasang di teras!” Ayah menunjuk plastik hitam di sampingnya. 

   Windy meraih plastik itu, dikeluarkannya segulung benang kasur dengan deretan bendera merah putih mini. Windy jadi ingat bendera-bendera mini yang sering digantung di jalan komplek. 

“Nah, gimana? Keren kan?” Tanya ayah diikuti anggukan Windy. “Sekarang, bantu pasangkan bendera mini itu di pintu teras ya! Biar ayah yang pasangkan bendera besar ini.” 

    Pagi itu, ayah dan Windy menghias halaman rumah. Dito, adik Windy pun ikut membantu memasang solasi untuk bendera mini. Mereka bertiga berbagi tugas memasang bendera-bendera. 

    Siang yang panas pun datang. Kini ia asyik makan es krim sambil melepas penat. Banyak hal yang sudah Windy lakukan. Dari upacara, mencuci piring, menghias halaman, membantu ibu membersihkan rumah, membuat poster kemerdekaan, dan lain lain. Tapi masih saja Windy merasa bosan. Ia membayangkan apa jadinya kalau hari ini ada lomba seperti biasanya. Pasti dia pulang dengan tangan penuh hadiah. Hasil dari memenangkan berbagai lomba. Tidak seperti sekarang, hanya lelah yang didapat. 

“Windy! Dito!” Tiba tiba ayah memanggil. 

“Kenapa Yah?”  

“Anu, tolong belikan bahan-bahan yang tertera di kertas ini ya!” Ayah memberinya secarik kertas. 

“Baru aja selesai bantu ibu, masa harus pergi lagi...” Keluhnya. 

“Ayah yakin pasti kamu bosan kan?” Tanya ayah. Lagi lagi Windy hanya mengangguk. 

“Yang tadi itu hanya permulaan, coba ikuti kata Ayah dulu, nanti kamu gak akan bosan lagi!” Seru ayah bersemangat. “Oiya, coba tanya ibu di mana tempat beli bahan-bahan ini.” 

     Berbekal masker kain dan sejumlah uang, Windy dan Dito bersepeda ke toko fotokopi seperti yang dikatakan ibu. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga blok. Tapi ia mendadak kecewa ketika sampai di tujuan. Ternyata tokonya tutup karena libur tanggal merah. Terpaksa mereka berdua harus mencari toko lain. 

“Loh kok lama sekali? Dari mana saja?” Tanya ayah saat melihat Windy baru pulang. 

“Kan sekarang tanggal merah, Yah, jadi toko fotokopi dekat sini banyak yang tutup. Terpaksa kami ke toko yang agak jauh.” Jawab Dito. 

“Oooh, begitu. Makasih ya! Coba cek. Stik es krim, kertas kado batik, mata mainan, lem, spidol, oke sudah lengkap!” Ayah mengecek pesanannya. 

Sebenarnya apa yang dipikirkannya sih? Ah sudahlah aku gak mau terlibat lagi. Lebih baik aku scroll beranda Youtube ku. Siapa tahu ada video bagus.” Batin Windy sambil beranjak ke kamarnya. 

“Hei Windy! Ayo, bantu Ayah dulu!” Panggil ayahnya tepat sebelum ia masuk kamar. 

“A.aapalagi, Yah.??”  

“Kan Ayah bilang, turuti saja dulu. Nanti kau akan tahu.” Kata ibu ikut menimpali. 

    Akhirnya, Windy ikut membantu ayahnya. Dari menyiapkan laptop, menggotong meja, hingga menata lampu. Entah untuk apa, Windy tak tahu. Yang jelas, ruang tamu yang awalnya berisi sofa dan meja, disulap menjadi mirip teater wayang. 

    Malam pun tiba. Setelah makan malam, Windy sekeluarga berkumpul di ruang tamu. Ayah seperti sedang menyiapkan sesuatu. 

“Tolong nyalakan laptopnya ya!” 

“Oke!” 

    Setelah beberapa saat, segalanya siap. Windy mulai paham apa yang akan dilakukan ayahnya. Di laptop terlihat banyak anak anak dari aplikasi video call. Beberapa lampu dimatikan. Menyisakan lampu meja dan senter. 

    Ya, ayah akan mengisi acara story telling secara virtual. Windy baru ingat ayahnya pintar bercerita. Bahkan dulu saat muda dia sering mengikuti kontes mendongeng atau story telling.  

   Bersama  anak anak lain, Windy mendengarkan ayahnya bercerita. Cerita tentang peristiwa-peristiwa sebelum Pembacaan Teks Proklamasi. Mulai dari dibomnya Kota Hiroshima, kekosongan kekuasaan, diculiknya Soekarno dan Moh. Hatta diculik ke Rengasdengklok, hingga akhirnya teks Proklamasi dibacakan dan Indonesia merdeka. 

   Cerita yang dibawakan benar benar menarik. Dibantu dengan boneka kertas yang dibuatnya tadi sore, Ayah menceritakan semuanya. Peristiwa-peristiwa yang awalnya tak dipahami di sekolah, kini dia pahami dalam sekejap.  

   Tak terasa, acaranya sudah selesai. Ayah, Windy, ibu, dan Dito membereskan ruang tamu. Karena hari sudah malam, mereka berempat masuk ke kamar masing masing. Bersiap untuk istirahat. 

   Tapi, sebelum masuk ke kamarnya, Windy tersadar akan sesuatu. Dia langkahkan  kakinya ke kamar lain, menghampiri ayahnya. 

“Terima kasih, Ayah.” 

“Hm? Terima kasih kenapa?” ayah kebingungan, begitu juga dengan ibu yang ada di sampingnya. 

“Berkat Ayah, Agustusan kali ini meriah dan berkesan untukku. Tak kalah dengan tahun lalu.” Kata Windy sambil tersenyum lebar. 

Previous
Previous

Indahnya Kebersamaan di dalam Persatuan  

Next
Next

Hari Ini, 76 Tahun Lalu